Banyak
penulis dan pencinta kebudayaan telah menulis tentang Mensjid Raya
Baiturrahman. Salah satu tempat ibadah terkemuka dan terpusat di aceh,
menjadikan masjid ini tidak hanya sebagai pusat ibadah namun juga ikon wisata
religi aceh. Bentuknya yang megah dan tepat berada di tengah kota banda Aceh,
membuat letaknya tidak sulit untuk di kunjungi. Pintu gerbang untama kota
mengarah langsung ke jalan ibukota tepat di lingkungan kawasan Masjid ini
dibangun.
Setiap
hari, masjid ini tidak pernah sepi dari para jamaah yang datang untuk
menunaikan ibadah shalat wajib maupun sunnah. Di Halaman masjidnya yang sangat
luas, terdapat sebuah kolam ikan hias besar yang dibangun antara masjid dan
menara masjid. Hamparan rumput hijau dan puluhan pohon palem kurma tumbuh berjejer
di pinggir halaman masjid. Halman masjid yang bersih dapat dijadikan tempat
untuk beristirahat dan berteduh sambil menikmati megahnya arsitektur kono dari
Masjid Raya Baiturrahman.
Bagi
masyarakat aceh yang berkunjung ke Banda Aceh, ada tiga tempat yang menjadi
objek wisata tradisional yang harus dikkunjungi, yaitu Masjid Raya
Baiturrahman, Makam Syiah Kuala (sebutan untuk Syeikh Abdurrauf ibn As-Sigkily
Al-Jawy, khalifah utama tarikat syathariyah di nusantara, meninggal 1693 M),
dan Rumoh Aceh (sebagian masyarakat Aceh mengira Rumoh Aceh, yang sebenarnya di
bangun Belanda sebagai stand pameran colonial di semarang Tahun 1914 dan
kemudian dijadikan Aceh Meuseum sejak 31 Juli 1915, sebagai peninggalan
sultan-sultan aceh sehingga kadang-kadang masih ada juga masyarakat yang
melepaskan nazarnya di tempat itu.
Kuta
Dalam (Benteng Istana) dan Kuta Bate
(Benteng Batu), Masjid Raya Baiturrahman dari awal berdirnya juga berfungsi
sebagai Benteng (Kuta) pertahanan Rakyat Aceh., misalnya pada awal perang Belanda
di Aceh tahun 1873, ketika masjid tersebut menjadi salah satu pusat pertahanan
yang kemudian berhasil direbut Belanda (naskah kuno tentang pendaratan tentara
Belanda 1873, tt; 1-2), dimana Jendral Kohler Panglima Angkatan Perang Belanda
ditembak mati oleh sniper aceh.
Ensiklopedia
islam Indonesia (1992; 162-163) menyebutkan bahwa Masjid Raya Baiturrahman
pertama kali dibangun pada masa Sultan Alaidin Mahmud Syah I pada tahun 691 H
(1292M), manakal sultan menyadari akan perlu tersedianya tempat ibadah bagi
penduduk negeri yang semakin ramai beralih agama dan keyakinan lama kepada
keyakinan Islam. Akan tetapi tidak satupun diantara tulisan tersebut yang
merujuk kepada sumber primer yang meyakinkan. Hal tersebut sulit diteima,
dikarenakan pada masa abad ke 16, sesungguhnya sejarah Aceh sama sekali berada
dalam kegelapan dan asal usul kesultanannya pun masih kabur dan simpang siur
karena cerita dari mulut kemulut
(Djajadiningrat, 192; 9) yang bebeda-beda.
Kepastian
yang diberikan Bustanus Salatin mengenai Sultan Iskandar Muda sebagai sultan
yang membangun Masjid Raya Baiturrahman, ia menyebutkan bahwa “ ….pada tatkala
hijrah seribu empat puluh lima tahun…..ialah yang berbuat Masjid Raya
Baiturrahman dan beberapa masjid pada tiap-tiap manzil (tempat atau kampong).
Dan ialah yang mengeratkan Agama Islam dan menyuruh segala rakyat shalat lima
waktu, dan Puasa Ramadhan dan puasa sunnah , dan menegahkan sekalian mereka itu
minum arak, dan berjudi. Dan ialah yang membaitkan baitul mal, dan ushur
(dewan) negeri Aceh Darussalam, dan cukai pekan. Dan ialah yang sangat murah
kurnianya akan segala rakyatnya, dan mengaruniai sedekah akan segala fakir dan
miskin pada tiap-tiap berangkat shalat jum;at (Bustanus Salatin dalam Iskandar,
1966; 35-36).
Leih
dari itu, mengingat masa kesultanan Iskandar Muda yang cukup panjang dan
merupakan masa keemasan kesultanan Aceh Darussalam, maka tidaklah berlebihan
apabila diberitakan bahwa pada masa tersebutlah Masjid Raya Baiturrahman
dibangun, karena dalam kurun waktu itu pula banyak hal diselesaikan, seperti
membereskan kota dan kampong, pembangunan jalan-jalan raya, pembangunan
jembatan-jembatan yang indah dan kuat, pengadaan kantor-kantor, madrasah,
masjid, benteng, latihan pegawai, hakim, tenaga ahli, dan sebagainya (atjeh,
tt; 62). Sebagai seorang muslim yang taat dan memimpin negeri yang aman, damai,
makmur dan sejahtera, tentulah Sultan Iskandar Muda sempat mewujudkan berbagi
fasilitas umum sebagaimana tersebut di atas, terutama Masjid Raya Baiturrahman
yang kemudia disebut Masjid Raya.
Dalam
sejarah panjangnya Masjid Raya Baiturrahman pernah terbakar beberapa kali.
Bangunan pertama Masjid Raya Baiturrahman yang indah dan terbesar, dibangun
oleh Sultan Iskandar Muda pada tahun 1614 M telah hilang terbakar (Lombard,
1986; 60, bdk. Hasan dalam suny, 1980; 161) pada masa kekuasaan Sultanah Nurul
Alam Naqiyatuddin Syah (1675-1678) ketika terjadi pergolakan antara kaum
wujudiyyah yang menilai kerajaan yang dipimpin oleh perempuan tidak sah dan
berakhir pada kepanikan yang mengakibatkan istana dan masjid musnah terbakar.
Dalam
kebakaran tersebut tidak hanya istana dan masjid yang musnah, tetapi juga
perpustakana masjid yang memiliki berbagai kitab dalam jumlah besar ( A. Hasmy
dalam Puteh & Muh. Irham, S. Ag,. 2002; 1). Kemudia masjid raya dibangun
lagi, tetapi tidak jelas apakah setelah terbakar habis pada masa Kesultanah
Nurul Alam, (1675-1678) masjid tersebut langsung dibangun, atau pada masa
Sultanah Inayat Zakiyatuddin Syah (1678-1688) yang menggantikannya. Akan tetapi
mengingat Masjid Raya merupakan masjid utama dan terletak di ibukota kesultanan
aceh tersebut, tentulah pembangunan kembali masjid tersebut dilakukan saat itu
juga dan tidakklah mungkin kesultanan membiarkannya terbengkalai begitu lama
sampai pada masa sultanah berikutnya.
Masjid
Raya Baiturahhman yang dibangun pasca kebakaran pada masa sultanah Nurul
Naqiyatuddin Syah tersebut, terakhir dipugar secara luar biasa dengan gotong
royong masyarakat di bawah pimpinan Habib Abdurrahman Az-Zahir, tokoh yang
dikagumi dan disegani banyak orang (Hurgronje, 1996:66). Ia menjabat mangkabumi
kesultanan aceh Darussalam menjelang perang Belanda di Aceh (1873 M). Akan
tetapi pada permulaan perang Belanda di Aceh tahun 1873 bangunan Masjid Raya
Baiturahhman tersebut kembali musnah terbakar karena peluru meriam api yang
dilepaskan pasukan Belanda dari Kampong Meraksa. Hal tersebut di atas diketahui
dari pemeriam pada bagian awal sebuah naskah kuno mengenai pendaratan tentara
Belanda pada taun 1873 yang bahasanya bercampur antara Bahasa Melayu dan Bahasa
Aceh (naskah kuno tentnag perndaratan tentara belanda 1873, tt.: 1)
Setelah
kebakaran itu maka hilanglah wajah Masjid Raya Baiturahhman lama dan berganti
dengan wajah baru. Ketika 6 tahun kemudia dalam rangka mengambil hati rakyat
Aceh. Pemerintah militer Belanda pada masa gubernur militer Jenderal Mayor K.
Van Der Hajden (1879-1881) membangunnya kembali dalam bentuk bangunan batu
bergaya moor, sebagaiman terlihat sekarang hasil rancangan arsitek D. Bruen.
Hadirnya bangunan Masjid Raya Baiturahhman dari bahan batu dan bergaya moor
tersebut, telah mengubah gaya dan bentukknya yang berciri asli Melayu Nusantara
kepada bentuk dan ciri bangunan masjid-masjid di Negara-negara Islalm lainnya,
sebagai corak baru yang gemilang dalam sejarah seni bangunannya, seperti
Syro-Eghypto Style, Hispano-Moresque Style, Persian Style, Ottoman Style, atau
Indian Style (Israr, 1958:130).
Bangunan
Masjid Rata Baiturahhman tersebut pada saat pertama dibangun berkubah satu yang
kemudian diperluas pada masa gubernur militer A.P,H Van Aken (antara
1935-1936)menjadi tiga kubah. Selanjutnya dalam masa Kemerdekaan Indonesia,
yaitu pada masa Gubernur A. Hasmy (atara 1958- 1967) masjid kebanggaan
masyarakat aceh tersebut diperluas lagi menjadi lima kubah. Terakhir, pada masa
gubernur Ibrahim Hasan (antara 1987-1993) Masjid Raya Baiturahhman diperluas
lagi menjasi tujuh kubah.
Masjid
Raya Baiturahhman Sangat fenomenal baik sebagai sarana ibadah, media pembinaan
ummat, tempat bersejarah, dan objek wisata. Tidak ada kejalasan yang meyakinkan
bahwa Masjid Raya Baiturahhman dibangun oleh sultan-sultan Aceh Darusasalam
sebelum Iskandar Muda. Sumber-sumber luar dan kronik dalam negeri menegaskan
bahwa Masjid Raya Baiturahhman dibangun oleh Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam
Pada Tahun 1614 M, Ketika Kesultanan Aceh berada dalam masa keemasannya. Dalam
masa kekuasaannya, Sultan Iskandar Muda juga membangun banyak masjid, seperti
Masjid Raya Baiturahhman, masjid-masjid lain yang dibangun oleh sultan iskandar
muda juga disebut masjid raya, terutama karena dibangun oleh raja, masjid
ibukota, atau karena dianggap sebagai rumah ibadah bagi sejumlah mukim, seperti
Masjid Raya Indrapuri, Masjid Raya Indrapurwa, Masjid Raya Indrapatra Di Aceh,
Masjid Raya Labuy, Masjid Raya Nyong, Masjid Raya Reubee, Masjid Raya
Keumanganm Masjid Raya Meureudu Di Pidie, dan masjid-masid raya lainnya.
Dari
peta, sketsa dan data primer, menginformasikan bahwa Masjid Raya Baiturahhman
pada awalnya terbuat dari kayu dan berbentuk persegi empat dengan atap
bertigkat-tingkat yang lebih mirip bangunan keagaman asli Melayu Indonesia pra
Islam dari pada
masjid-masjid di Negara Islam lainnya.
No comments:
Post a Comment