Saturday 28 February 2015

SEJARAH MESJID RAYA BAITURAHHMAN Banda Aceh, Darusalam

Banyak penulis dan pencinta kebudayaan telah menulis tentang Mensjid Raya Baiturrahman. Salah satu tempat ibadah terkemuka dan terpusat di aceh, menjadikan masjid ini tidak hanya sebagai pusat ibadah namun juga ikon wisata religi aceh. Bentuknya yang megah dan tepat berada di tengah kota banda Aceh, membuat letaknya tidak sulit untuk di kunjungi. Pintu gerbang untama kota mengarah langsung ke jalan ibukota tepat di lingkungan kawasan Masjid ini dibangun.
Setiap hari, masjid ini tidak pernah sepi dari para jamaah yang datang untuk menunaikan ibadah shalat wajib maupun sunnah. Di Halaman masjidnya yang sangat luas, terdapat sebuah kolam ikan hias besar yang dibangun antara masjid dan menara masjid. Hamparan rumput hijau dan puluhan pohon palem kurma tumbuh berjejer di pinggir halaman masjid. Halman masjid yang bersih dapat dijadikan tempat untuk beristirahat dan berteduh sambil menikmati megahnya arsitektur kono dari Masjid Raya Baiturrahman.
Bagi masyarakat aceh yang berkunjung ke Banda Aceh, ada tiga tempat yang menjadi objek wisata tradisional yang harus dikkunjungi, yaitu Masjid Raya Baiturrahman, Makam Syiah Kuala (sebutan untuk Syeikh Abdurrauf ibn As-Sigkily Al-Jawy, khalifah utama tarikat syathariyah di nusantara, meninggal 1693 M), dan Rumoh Aceh (sebagian masyarakat Aceh mengira Rumoh Aceh, yang sebenarnya di bangun Belanda sebagai stand pameran colonial di semarang Tahun 1914 dan kemudian dijadikan Aceh Meuseum sejak 31 Juli 1915, sebagai peninggalan sultan-sultan aceh sehingga kadang-kadang masih ada juga masyarakat yang melepaskan nazarnya di tempat itu.
Kuta Dalam (Benteng Istana)  dan Kuta Bate (Benteng Batu), Masjid Raya Baiturrahman dari awal berdirnya juga berfungsi sebagai Benteng (Kuta) pertahanan Rakyat Aceh., misalnya pada awal perang Belanda di Aceh tahun 1873, ketika masjid tersebut menjadi salah satu pusat pertahanan yang kemudian berhasil direbut Belanda (naskah kuno tentang pendaratan tentara Belanda 1873, tt; 1-2), dimana Jendral Kohler Panglima Angkatan Perang Belanda ditembak mati oleh sniper aceh.
Ensiklopedia islam Indonesia (1992; 162-163) menyebutkan bahwa Masjid Raya Baiturrahman pertama kali dibangun pada masa Sultan Alaidin Mahmud Syah I pada tahun 691 H (1292M), manakal sultan menyadari akan perlu tersedianya tempat ibadah bagi penduduk negeri yang semakin ramai beralih agama dan keyakinan lama kepada keyakinan Islam. Akan tetapi tidak satupun diantara tulisan tersebut yang merujuk kepada sumber primer yang meyakinkan. Hal tersebut sulit diteima, dikarenakan pada masa abad ke 16, sesungguhnya sejarah Aceh sama sekali berada dalam kegelapan dan asal usul kesultanannya pun masih kabur dan simpang siur karena cerita dari mulut kemulut  (Djajadiningrat, 192; 9) yang bebeda-beda.
Kepastian yang diberikan Bustanus Salatin mengenai Sultan Iskandar Muda sebagai sultan yang membangun Masjid Raya Baiturrahman, ia menyebutkan bahwa “ ….pada tatkala hijrah seribu empat puluh lima tahun…..ialah yang berbuat Masjid Raya Baiturrahman dan beberapa masjid pada tiap-tiap manzil (tempat atau kampong). Dan ialah yang mengeratkan Agama Islam dan menyuruh segala rakyat shalat lima waktu, dan Puasa Ramadhan dan puasa sunnah , dan menegahkan sekalian mereka itu minum arak, dan berjudi. Dan ialah yang membaitkan baitul mal, dan ushur (dewan) negeri Aceh Darussalam, dan cukai pekan. Dan ialah yang sangat murah kurnianya akan segala rakyatnya, dan mengaruniai sedekah akan segala fakir dan miskin pada tiap-tiap berangkat shalat jum;at (Bustanus Salatin dalam Iskandar, 1966; 35-36).
Leih dari itu, mengingat masa kesultanan Iskandar Muda yang cukup panjang dan merupakan masa keemasan kesultanan Aceh Darussalam, maka tidaklah berlebihan apabila diberitakan bahwa pada masa tersebutlah Masjid Raya Baiturrahman dibangun, karena dalam kurun waktu itu pula banyak hal diselesaikan, seperti membereskan kota dan kampong, pembangunan jalan-jalan raya, pembangunan jembatan-jembatan yang indah dan kuat, pengadaan kantor-kantor, madrasah, masjid, benteng, latihan pegawai, hakim, tenaga ahli, dan sebagainya (atjeh, tt; 62). Sebagai seorang muslim yang taat dan memimpin negeri yang aman, damai, makmur dan sejahtera, tentulah Sultan Iskandar Muda sempat mewujudkan berbagi fasilitas umum sebagaimana tersebut di atas, terutama Masjid Raya Baiturrahman yang kemudia disebut Masjid Raya.
Dalam sejarah panjangnya Masjid Raya Baiturrahman pernah terbakar beberapa kali. Bangunan pertama Masjid Raya Baiturrahman yang indah dan terbesar, dibangun oleh Sultan Iskandar Muda pada tahun 1614 M telah hilang terbakar (Lombard, 1986; 60, bdk. Hasan dalam suny, 1980; 161) pada masa kekuasaan Sultanah Nurul Alam Naqiyatuddin Syah (1675-1678) ketika terjadi pergolakan antara kaum wujudiyyah yang menilai kerajaan yang dipimpin oleh perempuan tidak sah dan berakhir pada kepanikan yang mengakibatkan istana dan masjid musnah terbakar.
Dalam kebakaran tersebut tidak hanya istana dan masjid yang musnah, tetapi juga perpustakana masjid yang memiliki berbagai kitab dalam jumlah besar ( A. Hasmy dalam Puteh & Muh. Irham, S. Ag,. 2002; 1). Kemudia masjid raya dibangun lagi, tetapi tidak jelas apakah setelah terbakar habis pada masa Kesultanah Nurul Alam, (1675-1678) masjid tersebut langsung dibangun, atau pada masa Sultanah Inayat Zakiyatuddin Syah (1678-1688) yang menggantikannya. Akan tetapi mengingat Masjid Raya merupakan masjid utama dan terletak di ibukota kesultanan aceh tersebut, tentulah pembangunan kembali masjid tersebut dilakukan saat itu juga dan tidakklah mungkin kesultanan membiarkannya terbengkalai begitu lama sampai  pada masa sultanah berikutnya.
Masjid Raya Baiturahhman yang dibangun pasca kebakaran pada masa sultanah Nurul Naqiyatuddin Syah tersebut, terakhir dipugar secara luar biasa dengan gotong royong masyarakat di bawah pimpinan Habib Abdurrahman Az-Zahir, tokoh yang dikagumi dan disegani banyak orang (Hurgronje, 1996:66). Ia menjabat mangkabumi kesultanan aceh Darussalam menjelang perang Belanda di Aceh (1873 M). Akan tetapi pada permulaan perang Belanda di Aceh tahun 1873 bangunan Masjid Raya Baiturahhman tersebut kembali musnah terbakar karena peluru meriam api yang dilepaskan pasukan Belanda dari Kampong Meraksa. Hal tersebut di atas diketahui dari pemeriam pada bagian awal sebuah naskah kuno mengenai pendaratan tentara Belanda pada taun 1873 yang bahasanya bercampur antara Bahasa Melayu dan Bahasa Aceh (naskah kuno tentnag perndaratan tentara belanda 1873, tt.: 1)
Setelah kebakaran itu maka hilanglah wajah Masjid Raya Baiturahhman lama dan berganti dengan wajah baru. Ketika 6 tahun kemudia dalam rangka mengambil hati rakyat Aceh. Pemerintah militer Belanda pada masa gubernur militer Jenderal Mayor K. Van Der Hajden (1879-1881) membangunnya kembali dalam bentuk bangunan batu bergaya moor, sebagaiman terlihat sekarang hasil rancangan arsitek D. Bruen. Hadirnya bangunan Masjid Raya Baiturahhman dari bahan batu dan bergaya moor tersebut, telah mengubah gaya dan bentukknya yang berciri asli Melayu Nusantara kepada bentuk dan ciri bangunan masjid-masjid di Negara-negara Islalm lainnya, sebagai corak baru yang gemilang dalam sejarah seni bangunannya, seperti Syro-Eghypto Style, Hispano-Moresque Style, Persian Style, Ottoman Style, atau Indian Style (Israr, 1958:130).
Bangunan Masjid Rata Baiturahhman tersebut pada saat pertama dibangun berkubah satu yang kemudian diperluas pada masa gubernur militer A.P,H Van Aken (antara 1935-1936)menjadi tiga kubah. Selanjutnya dalam masa Kemerdekaan Indonesia, yaitu pada masa Gubernur A. Hasmy (atara 1958- 1967) masjid kebanggaan masyarakat aceh tersebut diperluas lagi menjadi lima kubah. Terakhir, pada masa gubernur Ibrahim Hasan (antara 1987-1993) Masjid Raya Baiturahhman diperluas lagi menjasi tujuh kubah.
Masjid Raya Baiturahhman Sangat fenomenal baik sebagai sarana ibadah, media pembinaan ummat, tempat bersejarah, dan objek wisata. Tidak ada kejalasan yang meyakinkan bahwa Masjid Raya Baiturahhman dibangun oleh sultan-sultan Aceh Darusasalam sebelum Iskandar Muda. Sumber-sumber luar dan kronik dalam negeri menegaskan bahwa Masjid Raya Baiturahhman dibangun oleh Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam Pada Tahun 1614 M, Ketika Kesultanan Aceh berada dalam masa keemasannya. Dalam masa kekuasaannya, Sultan Iskandar Muda juga membangun banyak masjid, seperti Masjid Raya Baiturahhman, masjid-masjid lain yang dibangun oleh sultan iskandar muda juga disebut masjid raya, terutama karena dibangun oleh raja, masjid ibukota, atau karena dianggap sebagai rumah ibadah bagi sejumlah mukim, seperti Masjid Raya Indrapuri, Masjid Raya Indrapurwa, Masjid Raya Indrapatra Di Aceh, Masjid Raya Labuy, Masjid Raya Nyong, Masjid Raya Reubee, Masjid Raya Keumanganm Masjid Raya Meureudu Di Pidie, dan masjid-masid raya lainnya.
Dari peta, sketsa dan data primer, menginformasikan bahwa Masjid Raya Baiturahhman pada awalnya terbuat dari kayu dan berbentuk persegi empat dengan atap bertigkat-tingkat yang lebih mirip bangunan keagaman asli Melayu Indonesia pra Islam dari pada masjid-masjid di Negara Islam lainnya.

No comments:

Post a Comment